Akan
Dibawa Kemana Baha(ng)sa Indonesia
Pada tanggal 27 Februari 2012 saya
mengikuti sebuah seminar nasioanal di kampus. Ada banyak yang dapat saya petik
dari seminar tersebut, salah satunya dari nara sumber yaitu Bapak Soeparno. Inilah
pesan yang dikomukasikan oleh Bapak Soeparno dalam Seminar Nasional kebahasaan
“ menyikapi Berbagai Permasalahan Bahasa Indonesia, Siapakah Yang Bertanggung
jawab?”, akan dibawa ke mana bahasa Indonesia? Dan akan dibawa kemana bangsa
Indonesia? Ada teori tentang hubungan antara corak bahasa dan perilaku bangsa.
Teori konvensional mengatakan bahwa perilaku bangsa mempengaruhi corak
bahasanya, sedangkan teori lain menyatakan sebaliknya, yakni corak bahasa
justru akan mempengaruhi perilaku bangsa. Berangkat dari hipotesis
Whorf-Shapir. Ada beberapa keunikan penggunaan bahasa Indonesia yang perlu
dikuak terkait dengan masalah perilaku penuturnya.
1. Penghilangan
fungsi gramatik dan aneka pelesapan.
Pada
kalimat Anaknya berjumlah tiga orang menjadi Anaknya tiga orang,
terdapat penghilangan fungsi gramatik. Pelesapan unsur-unsur fonetis dan
silabis pada kata saja menjadi aja, sudah
menjadi udah dsb, pada
hakikatnya merupakan upaya untuk mencari bentuk bahasa yang efektif dalam arti dengan
usaha minimal menghasilkan produk maksimal. Perilaku tersebut tidak berbeda
dengan mental koruptor. Maka perlu penyadaran terhadap pengaruh buruk
kebiasaan menghilangkan fungsi gramatikal dan melesapkan unsur fonetis serta
silabis kata. Diharapkan dapat menuntun
bangsa Indonesia menggunakan bahasa yang lurus.
2. Pergeseran
pelengkap ke posisi predikat pada kalimat yang predikatnya dilesaapkan seperti
pada kalimat Ayahnya merupakan tokoh masyarakat menjadi Ayahnya tokoh
masyarakat merupakan keunikan, yakni hampir semua orang Indonesia
bersepakat bahawa pelengkap yang menduduki posisi predikat yang kosong itu lalu
dinamakan predikat, sehingga ayahnya sebagai subyek dan tokoh
masyarakat sebagai predikat. Produknya adalah kalimat nominal. Dalam
teori tagmemik, predikat selalu diisi oleh kata kerja. Berdasarkan teori
tersebut berarti kalimat nominal adalah kalimat yang terlahir karena pelesapan
(korupsi) predikat dan perselingkuhan subjek dan pelengkap di kala predikat
dilesapkan. Dengan menghindari bentuk tersebut diharapkan bangsa ini akan
terhindar dari perilaku yang tidak terpuji.
3. Penggunaan
salam “Halo, apa kabar!”, mempunyai dampak kepada penuturnya untuk
selalu haus akan kabar atau berita. Dalam bahasa Inggris greeting yang popular
adalah ‘How do you do!” di sini
kata “do’’ yang ditonjolkan, sehingga orang Inggris lebih suka bekerja
dari pada ngobrol. Benar juga ya?
4. Penggunaan
kata lesapan kata sapaan untuk bapak, ibu dan saudara
merupakan fenomena yang unik. Peminjaman istilah kekerabatan menjadi kata
sapaan bukannya tanpa dampak, orang yang bukan ayahnya dipanggil bapak,
begitu juga dengan kata sapaan ibu dan saudara. Dampak positifnya memang ada, akan tumbuh
suburnya hubungan silaturahim. Namun, dampak negatifnya muncul prtaktik
nepotisme dalam segala bidang kehidupan.
5. Penggunaa
kata ganti orang ketiga pada kalimat penutup surat dinas telah mengajak pemakai
bahasa Indonesia untuk tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Atas
perhatian Bapak, diucapkan terimakasih, uacapan terimakasih
seharusnya diucapkan orang pertama(pembuat surat) tetapi di kalimat tersebut
justru orang ketiga. Atas perhatiannya, diucapkan terimakasih,
yang diberi ucapan terima kasih seharusnya orang kedua (yang dikirimi
surat0 bukan orang ketiga. Atas perhatian Anda, kami ucapkan
terima kasih, yang mengucapkan seharusnya penulis surat dan yang diberi
ucapan terima kasih adalah orang yang dikirimi surat, tetapi kalimat tersebut
justru yang mengucapkan dan yang diberi ucapan terima kasih adalah orang
ketiga.
6. Ketiadaan
penanda kala (tenses) dalam bahasa Indonesia secara tidak disadari telah
mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat untuk tidak displin terhadap
waktu.
7. Kegramatikalan
berdasarkan keumuman. Bentuk kata bupati mendapat imbuhan ke-an secara
kaidah seharusnya menjadi kebupatian, namun kata kabupaten yang
dianggap benar, implikasinya ialah bahwa masyarakat mengakui yang benar adalah
yang lazim atau yang banyak pengikutnya, sehingga terjadi korupsi berjama’ah.
8. Penggunaan
istilah asing dalam bahasa Indonesia nyaris tak terkontrol. Istilah asing
secara besar-besaran diindonesiakan dan istilah Indonesia yang kita miliki
secara besar-besaran disingkirkan. Banyak masyarakat Indonesia yang tidak paham
tentang arti istilah-istilah yang telah tersingkirkan. Dampaknya adalah
masyarakat kurang menghargai dengan apa yang dimiliki oleh bangsanya sendiri
dan justru bangga serta mengagumi budaya luar.
Dapat
disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia di atas mempunyai dampak negatif
terhadap perilaku bangsa Indonesia. Kasus di atas harus dihindari dan perlu
dilakukan penyadaran kepada pemakai bahasa Indonesia untuk taat asas
menggunakan bahasa Indonesia yang lurus. Satu yang pasti yaitu kita harus
bangga dengan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa persatuan. Mari kita jaga
keaslian bahasa Indonesia dengan semangat persatuan dan kesatuan. Kita boleh
belajar bahasa asing negara manapun tetapi jangan sampai kebanggaan dalam
menguasai bahasa asing yang anda pelajari mengalahkan kebanggaan menggunakan
bahasa kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar