Selasa, 06 Maret 2012

Bahasa Dapat Mempengaruhi Perilaku Penuturnya (Bahasa Indonesia)



Akan Dibawa Kemana Baha(ng)sa Indonesia
        Pada tanggal 27 Februari 2012 saya mengikuti sebuah seminar nasioanal di kampus. Ada banyak yang dapat saya petik dari seminar tersebut, salah satunya dari nara sumber yaitu Bapak Soeparno. Inilah pesan yang dikomukasikan oleh Bapak Soeparno dalam Seminar Nasional kebahasaan “ menyikapi Berbagai Permasalahan Bahasa Indonesia, Siapakah Yang Bertanggung jawab?”, akan dibawa ke mana bahasa Indonesia? Dan akan dibawa kemana bangsa Indonesia? Ada teori tentang hubungan antara corak bahasa dan perilaku bangsa. Teori konvensional mengatakan bahwa perilaku bangsa mempengaruhi corak bahasanya, sedangkan teori lain menyatakan sebaliknya, yakni corak bahasa justru akan mempengaruhi perilaku bangsa. Berangkat dari hipotesis Whorf-Shapir. Ada beberapa keunikan penggunaan bahasa Indonesia yang perlu dikuak terkait dengan masalah perilaku penuturnya.
1.      Penghilangan fungsi gramatik dan aneka pelesapan.
Pada kalimat Anaknya berjumlah tiga orang menjadi Anaknya tiga orang, terdapat penghilangan fungsi gramatik. Pelesapan unsur-unsur fonetis dan silabis pada kata saja menjadi aja, sudah menjadi udah  dsb, pada hakikatnya merupakan upaya untuk mencari bentuk bahasa yang efektif dalam arti dengan usaha minimal menghasilkan produk maksimal. Perilaku tersebut tidak berbeda dengan mental koruptor. Maka perlu penyadaran terhadap pengaruh buruk kebiasaan menghilangkan fungsi gramatikal dan melesapkan unsur fonetis serta silabis kata.  Diharapkan dapat menuntun bangsa Indonesia menggunakan bahasa yang lurus.

2.      Pergeseran pelengkap ke posisi predikat pada kalimat yang predikatnya dilesaapkan seperti pada kalimat Ayahnya merupakan tokoh masyarakat menjadi Ayahnya tokoh masyarakat merupakan keunikan, yakni hampir semua orang Indonesia bersepakat bahawa pelengkap yang menduduki posisi predikat yang kosong itu lalu dinamakan predikat, sehingga ayahnya sebagai subyek dan tokoh masyarakat sebagai predikat. Produknya adalah kalimat nominal. Dalam teori tagmemik, predikat selalu diisi oleh kata kerja. Berdasarkan teori tersebut berarti kalimat nominal adalah kalimat yang terlahir karena pelesapan (korupsi) predikat dan perselingkuhan subjek dan pelengkap di kala predikat dilesapkan. Dengan menghindari bentuk tersebut diharapkan bangsa ini akan terhindar dari perilaku yang tidak terpuji.
3.      Penggunaan salam “Halo, apa kabar!”, mempunyai dampak kepada penuturnya untuk selalu haus akan kabar atau berita. Dalam bahasa Inggris greeting yang popular adalah ‘How do you do!”  di sini kata “do’’ yang ditonjolkan, sehingga orang Inggris lebih suka bekerja dari pada ngobrol. Benar juga ya?
4.      Penggunaan kata lesapan kata sapaan untuk bapak, ibu dan saudara merupakan fenomena yang unik. Peminjaman istilah kekerabatan menjadi kata sapaan bukannya tanpa dampak, orang yang bukan ayahnya dipanggil bapak, begitu juga dengan kata sapaan ibu dan saudara.  Dampak positifnya memang ada, akan tumbuh suburnya hubungan silaturahim. Namun, dampak negatifnya muncul prtaktik nepotisme dalam segala bidang kehidupan.
5.      Penggunaa kata ganti orang ketiga pada kalimat penutup surat dinas telah mengajak pemakai bahasa Indonesia untuk tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Atas perhatian Bapak, diucapkan terimakasih, uacapan terimakasih seharusnya diucapkan orang pertama(pembuat surat) tetapi di kalimat tersebut justru orang ketiga. Atas perhatiannya, diucapkan terimakasih, yang diberi ucapan terima kasih seharusnya orang kedua (yang dikirimi surat0 bukan orang ketiga. Atas perhatian Anda, kami ucapkan terima kasih, yang mengucapkan seharusnya penulis surat dan yang diberi ucapan terima kasih adalah orang yang dikirimi surat, tetapi kalimat tersebut justru yang mengucapkan dan yang diberi ucapan terima kasih adalah orang ketiga.
6.      Ketiadaan penanda kala (tenses) dalam bahasa Indonesia secara tidak disadari telah mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat untuk tidak displin terhadap waktu.
7.      Kegramatikalan berdasarkan keumuman. Bentuk kata bupati mendapat imbuhan ke-an secara kaidah seharusnya menjadi kebupatian, namun kata kabupaten yang dianggap benar, implikasinya ialah bahwa masyarakat mengakui yang benar adalah yang lazim atau yang banyak pengikutnya, sehingga terjadi korupsi berjama’ah.
8.      Penggunaan istilah asing dalam bahasa Indonesia nyaris tak terkontrol. Istilah asing secara besar-besaran diindonesiakan dan istilah Indonesia yang kita miliki secara besar-besaran disingkirkan. Banyak masyarakat Indonesia yang tidak paham tentang arti istilah-istilah yang telah tersingkirkan. Dampaknya adalah masyarakat kurang menghargai dengan apa yang dimiliki oleh bangsanya sendiri dan justru bangga serta mengagumi budaya luar.
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia di atas mempunyai dampak negatif terhadap perilaku bangsa Indonesia. Kasus di atas harus dihindari dan perlu dilakukan penyadaran kepada pemakai bahasa Indonesia untuk taat asas menggunakan bahasa Indonesia yang lurus. Satu yang pasti yaitu kita harus bangga dengan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa persatuan. Mari kita jaga keaslian bahasa Indonesia dengan semangat persatuan dan kesatuan. Kita boleh belajar bahasa asing negara manapun tetapi jangan sampai kebanggaan dalam menguasai bahasa asing yang anda pelajari mengalahkan kebanggaan menggunakan bahasa kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar