Kelas N
Kelompok E
NIM
09201244070
Sekilas Info
Mata kuliah ini diampu oleh Nurhadi, M.Hum, dosen
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta. Pengajar asal Pemalang ini sekarang tengah
menempuh kuliah S3 di UGM, Yogyakarta dengan menulis disertasi yang
mengangkat karya-karya Seno Gumira Ajidarma.
____________
Penulisan Esai tentang Sejarah Sastra Indonesia
ini diikuti oleh para mahasiswa PBSI
kelas K, L, M, dan N tahun ajaran 2009/2010 semester genap. Tulisan-tulisan
ini sebagai bentuk bagian ujian akhir matakuliah.
____________
Seseorang akan dikenang dan dicatat oleh sejarah
lewat tulisan-tulisannya. Pepatah yang mengatakan ”publish or perish” mengingatkan kita bahwa jika mempublikasikan
diri, kita akan eksis, dan jika tidak melakukannya, kita akan musnah ditelan
zaman.
Buletin Rahsas terbit
setiap minggu
pada hari Sabtu, mengangkat
tulisan-tulisan tentang sejarah sastra Indonesia oleh peserta kuliah. Redaksi edisi kali ini:
Nama : Arif Budianto
NIM : 09201244070
Kelas : N
Email : abudianto13@yahoo.co.id.
Film Telegram yang disutradarai oleh Slamet Rahardjo ini merupakan produksi bersama Indonesia dan Prancis. Dirilis di tahun 2002, film ini
memenangkan penghargaan di
Festival Film Asia Pasifik ke-46 dan untuk
kategori aktris terbaik disabet oleh Ayu Azhari.
Putu Wijaya seorang penulis novel yang sekaligus sering membuat film ini terkenal mengajukan
problem-problem psikologis dalam novelnya. Bagi banyak orang ini disebut
dengan “absurd”. Absurditas karya-karya Putu Wijaya ini mengemuka disaat kita
membaca beberapa karyanya. Dalam banyak prosanya itu, Putu Wijaya biasanya
banyak memerikan pergulatan pikiran sang tokoh utama seperti dalam Novel Telegram.
Jakob
Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan
Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa Putu
Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling
produktif dan paling kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh
potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya dan disatukan oleh suasana tema
(ibid : 133).
|
Di Balik Novel Telegram
Oleh Arif
Budianto
A.Pendahuluan
Novel Telegram karya Putu
Wijaya ini dicetak pertama kali oleh penerbit
Pustaka Jaya di Jakarta Tahun 1973. Novel yang ditulis Putu Wijaya saat berumurr
28 tahun ini pernah menyabet hadiah pertama mengarang roman DKI, Jakarta
1972. Para kritikus sastra seperti Y.B. Mangunwijaya (1988 : 50) telah membuat esei tentang
novel Telegram (1973) dan mengatakan bahwa novel tersebut merupakan
karya yang matang dan dewasa, sedangkan bentuknya sangat berhasil.
Novel Telegram di antara banyaknya
karya-karya Putu Wijaya adalah salah satu pembuktian bahwa saat itu sastra
kita sudah tenggelam jauh ke dalam realisme. Novel telegram juga membuahkan
kesuksesan tersendiri bagi Putu Wijaya dalam dunia perfilman yaitu ketika
novel ini diangkat menjadi sebuah
film oleh sutradara Slamet Rahardjo. Ide penggarapan film Telegram dimulai tahun 95-an. Pada saat itu, Slamet Rahardjo yang mewakili Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN),melakukan
perjalanan ke Prancis dalam rangka membuat kerjasama dengan Pusat Perfilman
Prancis(CNC) Centre Nationale Cinematograph. Tujuannya,adalah untuk
membangkitkan perfilman nasional di dunia.
Novel Telegram menceritakan
tentang seorang lelaki asal Bali yang tinggal Di Jakarta, Tokoh Daku(Aku)
dalam novel adalah individu yang lembek tapi keras,seseorang yang belum
menemukan jati dirinya. Daku mempunyai dunia khayal yang tinggi sehingga ia
tidak mampu membedakan mana yang khayalan dan mana yang nyata, suatu hari ia
mempunyai firasat akan menerima telegram dari kampung asalnya,ia selalu gelisah
dan merasa bahwa telegram itu sudah di tangannya,ia sangat takut karena
menurut benaknya,telegram selalu membawa berita buruk,isinya adalah ibunya
meninggal,selain itu dalam dunia khayal daku juga mempunyai kekasih, dan anak
angkat,tapi semua itu hanya khayalan. Hingga daku sadar ketika ada seseorang
yang memberinya telegram berisi bahwa ibunya meninggal dunia,dan itu nyata
bukan khayalan lagi.
B. Jalinan Cerita
Tokoh Daku(Aku), yang diperankan Sujiwo
Tejo dalam film, adalah individu yang lembek tapi keras,seseorang yang
belum menemukan jati dirinya. Cerita novel ini berawal dari seorang laki-laki
dari Bali yang tinggal Di Jakarta,suatu hari ia mempunyai firasat akan
menerima telegram dari kampung asalnya,ia selalu gelisah dan merasa bahwa telegram
itu sudah di tangannya,ia sangat takut karena menurut benaknya,telegram
selalu membawa berita buruk seperti kabar kecelakaan,atau kabar menakutkan
lainnya,sekarang ia tidak bisa berbuat apa-apa karena telegram itu sudah
ditangannya, isinya kabar ibunya yang meninggal.
Khayalan daku seakan-akan kenyataan,
setelah membaca telegram,ia segera bersiap-siap untuk pulang ke kampung
halamannya. Ia gelisah dan membayangkan bagaimana kelanjutan nasibnya, ibunya
meninggal,sebagai anak tertua ia harus berperan sebagai kepala
keluarga,sehingga semua yang berurusan dengan pemakaman ibunya ia yang
menanggung,juga dengan tanah dan rumah yang ibunya tinggalkan. Dilema itu
yang berkecambuk di benaknya,di tengah kebingungannya,tiba-tiba anak
angkatnya,Sinta yang diperankan Mira Ayudia dalam film,Sinta yang
dibuang ibunya ingin tahu isi dari telegram itu,sebagai seorang ayah yang
bijaksana ia takkan mengizinkan Sinta mengetahui isi telegram itu, sehingga
ia berbohong kepada Sinta. Namun Daku tidak tahu kalau sebenarnya anak
angkatnya sudah tahu isi dari telegram
itu.
Mereka berdua bersiap diri untuk
segera pulang ke Bali, namun tiba-tiba ibu kandung Sinta yang diperankan Desi
Ratnasari dalam film datang dan ingin meminta anak kandungnya itu,Daku
menolak karena ia yang membesarkan Sinta,mereka kemudian membuat kesepakatan
dan menyerahkan keputusan kepada Sinta,siapa yang akan dia pilih. Belum lagi
persoalan tentang Sinta kelar,muncul lagi khayalan dibenaknya, daku merasa
tubuhnya lemas,gemetar dan terserang demam,ia khawatir jika penyebabnya
adalah penyakit kotor yang ditularkan wanita penghibur yang pernah tidur
bersamanya,ia takut akan mengalami hal yang sama seperti temannya.
Daku tidal lagi dapat membedakan mana
yang nyata dan mana yang khayalan,kadang ia sadar bahwa semua yang terjadi
adalah khayalan semata,namun itu hanya sebentar ia masuk kedunia khayalannya
lagi, dalam khayalannya ia berpisah dengan kekasihnya,Rosa yang diperankan Ayu
Azhari dalam film,padahal sosok Rosa itu tidak nyata ada,Rosa hanya
khayalannya saja seperti ia mengkhayalkan tentang telegram itu. Daku kembali
berkhayal, ia dan Sinta bersiap akan ke Bali,ia telah memesan tiket pesawat.
Tiba- tiba di tengah khayalannya,ada
orang yang datang,ia bangkit dan membuka pintu,ternyata bibi pemilik
kontrakan yang datang, membawa sepucuk telegram ,daku segera membuka isinya
dan isinya ibunya telah meninggal dunia, telegram itu nyata dan benar
terjadi,itu fakta bukan khayalan,itu kenyataan yang sebenarnya, sedangkan
seluruh cerita sebelumnya hanyalah khayalan lelaki itu saja.
C. Novel Telegram yang Difilmkan
Slamet Rahardjo seorang sutradara
perfilman Di Indonesia memilih novel Telegram
karya Putu Wijaya dengan pertimbangan dari sekian banyak karya sastra
yang diciptakan seniman asal Bali itu, novel ini mempunyai nilai universal
dan warna etnis yang tak terlalu kentara. Kebetulan pula Telegram
sudah diterjemahkan dan beredar
di Prancis, sehingga karya ini relatif lebih mudah diterima . skenario film ini digarap sendiri oleh
Putu Wijaya dibantu Slamet Rahardjo.
Film Telegram
yang disutradarai oleh Slamet Rahardjo ini merupakan produksi bersama Indonesia dan Prancis. Dirilis di tahun 2002, film ini
memenangkan penghargaan di Festival Film Asia Pasifik ke-46 dan untuk kategori
aktris terbaik disabet oleh Ayu Azhari.
Telegram telah menjadi
bukti sebuah kerja keras dan kegigihan seorang Putu Wijaya dan Slamet Rahardjo
Djarot salah seorang sineas yang menyaksikan kejayaan dan kehancuran film
nasional yang mencoba kembali membangkitkan sebuah dunia yang telah lama
mati.
Pujian dari Mira Lesmana, salah seorang generasi baru perfilman Indonesia,ia termasuk
yang mengagumi film ini. Dari segi film, Mira yang sudah menyaksikan premier
film Telegram itu
mengaku seolah dibawa kesuatu nostalgia tentang sebuah gaya dalam perfilman Indonesia yang sudah lamatidak dia lihat. "ada rasa
sentimentil yangmuncul dalam diri saya," ujarnya. Telegram digarap dengan cukup manis, terutama tata cahaya
dan penataan artistiknya.
D. Novel Telegram dalam Kesusastraan Indonesia
Dengan novelnya Telegram (1973), Putu Wijaya membuktikan bahwa kondisi sastra kita saat itu sudah terlalu jauh tenggelam ke dalam
realisme. Dengan melecehkan alur dan penokohan, ia memotret jiwa atau ketidaksadaran
si pelaku. Pemandangan yang terlihat pembaca adalah campuran antara kenyataan
obyektif dan imajinasi pelaku, dan hampir-hampir kita tak mampu membedakan
keduanya. Demikianlah kesatuan cerita dihancurkan: peristiwa tidak terpapar dalam hubungan sebab
akibat. Perjalanan
tokoh utama hanya diikat oleh motif yang menjadi judul buku, yaitu Telegram dan Stasiun. Jika fragmen-fragmen peristiwa bergerak terlalu liar, pengarang segera
meredamnya ke suasana yang mirip puisi atau jika pelukisan terasa kelam memberatkan, ia memberikan lanturan
atau semacam ironi.
Putu Wijaya seorang penulis novel
yang sekaligus sering membuat film ini terkenal mengajukan problem-problem
psikologis dalam novelnya. Bagi banyak orang ini disebut dengan “absurd”.
Absurditas karya-karya Putu Wijaya ini mengemuka disaat kita membaca beberapa
karyanya. Dalam banyak prosanya itu, Putu Wijaya biasanya banyak memerikan
pergulatan pikiran sang tokoh utama seperti dalam Novel Telegram. Para
pengamat sastrapun menyebut novel
ini yang pertama di Indonesia yang
menggunakan tehnik stream of conciousness, kisah ini dibangun dengan cara
penuturan “monologue interiur” percakapan diri sendiri.
E. Putu Wijaya
I Gusti Ngurah Putu Wijaya adalah nama lengkapnya,
ia lahir di Puri Anom,Tabanan,Bali
pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan
kegemarannya pada dunia sastra . Sampai saat ini Putu Wijaya sudah menulis
kurang lebih dari 30 novel,40 naskah drama, sekitar seribu cerpen,ratusan
esai,artikel lepas,dan kritik drama, selain itu ia juga menulis skenario film
dan skenario sinetron, Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film
Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa ( 1980), dan Kembang Kertas ( 1985).
Cerita pendek karya
Putu Wijaya sering mengisi kolom-kolom pada Harian Kompas,dan Sinar
Harapan. Novel-novel karyanya juga kerap muncul di Majalah
Kartini,Femina, dan Horison. Beberapa karyanya yang sering diperbincangkan
banyak orang adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram,
Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam Sobat, Nyali.
Putu
Wijaya merupakan salah seorang sastrawan Angkatan 1966 – 1970 an. Angkatan ini ditandai
dengan terbitnya Majalah Sastra
Horison pimpinan
Mochtar Lubis . Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik , arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit
Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya
sastra pada masa ini, novel Telegram juga pertama kali dicetak oleh Pustaka Jaya. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga
termasuk dalam kelompok ini adalah, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, termasuk paus sastra Indonesia H.B. Jassin,Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, , Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lain.
Karya-karya
Putu Wijaya banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai
komentar terhadap novel-novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau
yang sifatnya mendalam dalam bentuk esei bermunculan di media massa, buku,
maupun dalam forum-forum seminar. Bahkan
karya-karya Putu Wijaya sampai saat ini banyak
dipergunakan sebagai objek
penelitian untuk penyusunan skripsi oleh mahasiswa jurusan sastra.
Imran T. Abdullah dkk. (1978 :12)
mengatakan bahwa sebagai seorang novelis, Putu Wijaya menempatkan dirinya tak
jauh dari kelihaiannya sebagai penulis naskah drama. Dalam prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode
objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam
pengungkapannya. Sementara itu,Jakob Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan Indonesia pada dasa warsa
1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa Putu Wijaya muncul dan
berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling produktif dan paling
kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh potongan-potongan
kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya
dan disatukan oleh suasana
tema (ibid : 133).
Sampai saat ini Putu Wijaya masih
aktif dalam dunia pementasan, Pada bulan Juni 2010 Putu Wijaya menggelar
pementasan Di Yogyakarta untuk mengenang Almarhum W.S Rendra dengan judul “Kereta Kencana”. sebelumnya
“Kereta Kencana” pernah beberapa kali dipentaskan oleh Almarhum W.S Rendra. Diumurnya yang
sudah tidak muda lagi Putu Wijaya masih saja bergulat dengan seni
pementasan,ini adalah hal yang luar biasa dari diri seorang Putu Wijaya, ia
adalah dramawan dan sastrawan ternama
di negeri ini.
Daftar Pustaka
·
Anonim, 2008. ” Biografi Putu Wijaya” dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id/
diunduh,7 Mei 2010
·
Budiman , Irfan. Laksmini W., Gita. Pudjiarti, Hani.
Sepriyosso, Darmawan. 2000“secarik telegram seribu ketegangan” edisi 19 juni
2000 dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip diunduh, 7 mei
2010.
·
Anonim, 2008, “ Sinopsis Novel
Telegram” dalam goesprih.blogspot.com diunduh 7 Mei 2010
·
Rizal, 2008. “ Konflik Sosial dan Politik Dalam Novel Nyali Karya Putu
Wijaya” dalam Sastraindonesia.ohlog.com diunduh 7 Mei 2010
|