Sabtu, 21 April 2012

Sinopsis Novel Telegram


Judul              : Telegram

pengarang      : Putu Wijaya
Penerbit          : Pustaka Jaya, Jakarta, 1986

Tokoh Daku (Aku) adalah individu yang lembek tapi keras,seseorang yang belum menemukan jati dirinya. Cerita novel ini berawal dari seorang laki-laki dari Bali yang tinggal Di Jakarta, suatu hari ia mempunyai firasat akan menerima telegram dari kampung asalnya, ia selalu gelisah dan merasa bahwa telegram itu sudah di tangannya, ia sangat takut karena menurut benaknya, telegram selalu membawa berita buruk seperti kabar kecelakaan,atau kabar menakutkan lainnya,sekarang ia tidak bisa berbuat apa-apa karena telegram itu sudah ditangannya, isinya kabar ibunya yang meninggal.
         Khayalan daku seakan-akan kenyataan, setelah membaca telegram,ia segera bersiap-siap untuk pulang ke kampung halamannya. Ia gelisah dan membayangkan bagaimana kelanjutan nasibnya, ibunya meninggal,sebagai anak tertua ia harus berperan sebagai kepala keluarga,sehingga semua yang berurusan dengan pemakaman ibunya ia yang menanggung, juga dengan tanah dan rumah yang ibunya tinggalkan. Dilema itu yang berkecambuk di benaknya.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba anak angkatnya, Sinta yang dibuang ibunya ingin tahu isi dari telegram itu, sebagai seorang ayah yang bijaksana ia takkan mengizinkan Sinta mengetahui isi telegram itu, sehingga ia berbohong kepada Sinta. Namun Daku tidak tahu kalau sebenarnya anak angkatnya  sudah tahu isi dari telegram itu.
        Mereka berdua bersiap diri untuk segera pulang ke Bali, namun tiba-tiba ibu kandung Sinta ingin meminta anak kandungnya itu. Daku menolak karena ia yang membesarkan Sinta, mereka kemudian membuat kesepakatan dan menyerahkan keputusan kepada Sinta, siapa yang akan dia pilih. Belum lagi persoalan tentang Sinta kelar, muncul lagi khayalan dibenaknya, daku merasa tubuhnya lemas,gemetar dan terserang demam,ia khawatir jika penyebabnya adalah penyakit kotor yang ditularkan wanita penghibur yang pernah tidur bersamanya, ia takut akan mengalami hal yang sama seperti temannya.
        Daku tidal lagi dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan. Kadang ia sadar bahwa semua yang terjadi adalah khayalan semata, namun itu hanya sebentar ia masuk kedunia khayalannya lagi, dalam khayalannya ia berpisah dengan kekasihnya yang bernama Rosa, padahal sosok Rosa itu tidak nyata ada. Rosa hanya khayalannya saja seperti ia mengkhayalkan tentang telegram itu. Daku kembali berkhayal, ia dan Sinta bersiap akan ke Bali, ia telah memesan tiket pesawat.
        Tiba- tiba di tengah khayalannya, ada orang yang datang,ia bangkit dan membuka pintu, ternyata bibi pemilik kontrakan yang datang, membawa sepucuk telegram , daku segera membuka isinya dan isinya ibunya telah meninggal dunia, telegram itu nyata dan benar terjadi, itu fakta bukan khayalan, itu kenyataan yang sebenarnya, sedangkan seluruh cerita sebelumnya hanyalah khayalan lelaki itu saja.

Di Balik Novel Telegram


Buletin Rahsas
Ajang Pembelajaran Menulis Mata Kuliah ”Sejarah Sastra Indonesia” Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY
Kelas N
Kelompok E
NIM 09201244070

Sekilas Info

Mata kuliah ini diampu oleh Nurhadi, M.Hum, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Pengajar asal Pemalang ini sekarang tengah menempuh kuliah S3 di UGM, Yogyakarta dengan menulis disertasi yang mengangkat karya-karya Seno Gumira Ajidarma.
____________


Penulisan Esai tentang Sejarah Sastra Indonesia ini diikuti  oleh para mahasiswa PBSI kelas K, L, M, dan N tahun ajaran 2009/2010 semester genap. Tulisan-tulisan ini sebagai bentuk bagian ujian akhir matakuliah.
____________


Seseorang akan dikenang dan dicatat oleh sejarah lewat tulisan-tulisannya. Pepatah yang mengatakan ”publish or perish” mengingat­kan kita bahwa jika mem­publika­si­­kan diri, kita akan eksis, dan jika tidak melakukannya, kita akan musnah ditelan zaman.




Buletin Rahsas terbit setiap minggu pada hari Sabtu, mengangkat tulisan-tulisan tentang sejarah sastra Indonesia oleh peserta kuliah. Redaksi  edisi kali ini:
Nama : Arif Budianto
NIM   : 09201244070
Kelas  : N
Email : abudianto13@yahoo.co.id.






Film Telegram yang disutradarai oleh Slamet Rahardjo ini merupakan produksi bersama Indonesia dan Prancis. Dirilis di tahun 2002, film ini memenangkan penghargaan di Festival Film Asia Pasifik ke-46 dan untuk kategori aktris terbaik disabet oleh Ayu Azhari.






Putu Wijaya seorang penulis novel yang sekaligus sering membuat film ini terkenal mengajukan problem-problem psikologis dalam novelnya. Bagi banyak orang ini disebut dengan “absurd”. Absurditas karya-karya Putu Wijaya ini mengemuka disaat kita membaca beberapa karyanya. Dalam banyak prosanya itu, Putu Wijaya biasanya banyak memerikan pergulatan pikiran sang tokoh utama seperti dalam Novel Telegram.




Jakob Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa Putu Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling produktif dan paling kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif  bahasanya dan disatukan oleh suasana tema (ibid : 133).






Di Balik Novel Telegram

Oleh Arif Budianto
A.Pendahuluan
        Novel Telegram karya Putu Wijaya ini dicetak pertama kali oleh penerbit  Pustaka Jaya di Jakarta Tahun 1973.  Novel yang ditulis Putu Wijaya saat berumurr 28 tahun ini pernah menyabet hadiah pertama mengarang roman DKI, Jakarta 1972. Para kritikus sastra seperti Y.B. Mangunwijaya  (1988 : 50) telah membuat esei tentang novel Telegram (1973) dan mengatakan bahwa novel tersebut merupakan karya yang matang dan dewasa, sedangkan bentuknya sangat berhasil.
        Novel Telegram di antara banyaknya karya-karya Putu Wijaya adalah salah satu pembuktian bahwa saat itu sastra kita sudah tenggelam jauh ke dalam realisme. Novel telegram juga membuahkan kesuksesan tersendiri bagi Putu Wijaya dalam dunia perfilman yaitu ketika novel ini   diangkat menjadi sebuah film oleh sutradara Slamet Rahardjo. Ide penggarapan film Telegram dimulai tahun 95-an. Pada saat itu, Slamet Rahardjo yang mewakili Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN),melakukan perjalanan ke Prancis dalam rangka membuat kerjasama dengan Pusat Perfilman Prancis(CNC) Centre Nationale Cinematograph. Tujuannya,adalah untuk membangkitkan perfilman nasional di dunia.
        Novel Telegram menceritakan tentang seorang lelaki asal Bali yang tinggal Di Jakarta, Tokoh Daku(Aku) dalam novel adalah individu yang lembek tapi keras,seseorang yang belum menemukan jati dirinya. Daku mempunyai dunia khayal yang tinggi sehingga ia tidak mampu membedakan mana yang khayalan dan mana yang nyata, suatu hari ia mempunyai firasat akan menerima telegram dari kampung asalnya,ia selalu gelisah dan merasa bahwa telegram itu sudah di tangannya,ia sangat takut karena menurut benaknya,telegram selalu membawa berita buruk,isinya adalah ibunya meninggal,selain itu dalam dunia khayal daku juga mempunyai kekasih, dan anak angkat,tapi semua itu hanya khayalan. Hingga daku sadar ketika ada seseorang yang memberinya telegram berisi bahwa ibunya meninggal dunia,dan itu nyata bukan khayalan lagi.
B. Jalinan Cerita

        Tokoh Daku(Aku),  yang diperankan Sujiwo Tejo dalam film, adalah individu yang lembek tapi keras,seseorang yang belum menemukan jati dirinya. Cerita novel ini berawal dari seorang laki-laki dari Bali yang tinggal Di Jakarta,suatu hari ia mempunyai firasat akan menerima telegram dari kampung asalnya,ia selalu gelisah dan merasa bahwa telegram itu sudah di tangannya,ia sangat takut karena menurut benaknya,telegram selalu membawa berita buruk seperti kabar kecelakaan,atau kabar menakutkan lainnya,sekarang ia tidak bisa berbuat apa-apa karena telegram itu sudah ditangannya, isinya kabar ibunya yang meninggal.
         Khayalan daku seakan-akan kenyataan, setelah membaca telegram,ia segera bersiap-siap untuk pulang ke kampung halamannya. Ia gelisah dan membayangkan bagaimana kelanjutan nasibnya, ibunya meninggal,sebagai anak tertua ia harus berperan sebagai kepala keluarga,sehingga semua yang berurusan dengan pemakaman ibunya ia yang menanggung,juga dengan tanah dan rumah yang ibunya tinggalkan. Dilema itu yang berkecambuk di benaknya,di tengah kebingungannya,tiba-tiba anak angkatnya,Sinta yang diperankan Mira Ayudia dalam film,Sinta yang dibuang ibunya ingin tahu isi dari telegram itu,sebagai seorang ayah yang bijaksana ia takkan mengizinkan Sinta mengetahui isi telegram itu, sehingga ia berbohong kepada Sinta. Namun Daku tidak tahu kalau sebenarnya anak angkatnya  sudah tahu isi dari telegram itu.
        Mereka berdua bersiap diri untuk segera pulang ke Bali, namun tiba-tiba ibu kandung Sinta yang diperankan Desi Ratnasari dalam film datang dan ingin meminta anak kandungnya itu,Daku menolak karena ia yang membesarkan Sinta,mereka kemudian membuat kesepakatan dan menyerahkan keputusan kepada Sinta,siapa yang akan dia pilih. Belum lagi persoalan tentang Sinta kelar,muncul lagi khayalan dibenaknya, daku merasa tubuhnya lemas,gemetar dan terserang demam,ia khawatir jika penyebabnya adalah penyakit kotor yang ditularkan wanita penghibur yang pernah tidur bersamanya,ia takut akan mengalami hal yang sama seperti temannya.
        Daku tidal lagi dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan,kadang ia sadar bahwa semua yang terjadi adalah khayalan semata,namun itu hanya sebentar ia masuk kedunia khayalannya lagi, dalam khayalannya ia berpisah dengan kekasihnya,Rosa yang diperankan Ayu Azhari dalam film,padahal sosok Rosa itu tidak nyata ada,Rosa hanya khayalannya saja seperti ia mengkhayalkan tentang telegram itu. Daku kembali berkhayal, ia dan Sinta bersiap akan ke Bali,ia telah memesan tiket pesawat.
        Tiba- tiba di tengah khayalannya,ada orang yang datang,ia bangkit dan membuka pintu,ternyata bibi pemilik kontrakan yang datang, membawa sepucuk telegram ,daku segera membuka isinya dan isinya ibunya telah meninggal dunia, telegram itu nyata dan benar terjadi,itu fakta bukan khayalan,itu kenyataan yang sebenarnya, sedangkan seluruh cerita sebelumnya hanyalah khayalan lelaki itu saja.


 C. Novel Telegram yang Difilmkan

        Slamet Rahardjo seorang sutradara perfilman Di Indonesia  memilih novel Telegram karya Putu Wijaya dengan pertimbangan dari sekian banyak karya sastra yang diciptakan seniman asal Bali itu, novel ini mempunyai nilai universal dan warna etnis yang tak terlalu kentara. Kebetulan pula Telegram sudah diterjemahkan dan beredar di Prancis, sehingga karya ini relatif lebih mudah diterima . skenario film ini digarap sendiri oleh Putu Wijaya dibantu Slamet Rahardjo.
        Film Telegram yang disutradarai oleh Slamet Rahardjo ini merupakan produksi bersama Indonesia dan Prancis. Dirilis di tahun 2002, film ini memenangkan penghargaan di Festival Film Asia Pasifik ke-46 dan untuk kategori aktris terbaik disabet oleh Ayu Azhari.
       Telegram telah menjadi bukti sebuah kerja keras dan kegigihan seorang Putu Wijaya dan Slamet Rahardjo Djarot salah seorang sineas yang menyaksikan kejayaan dan kehancuran film nasional yang mencoba kembali membangkitkan sebuah dunia yang telah lama mati.
         Pujian dari Mira Lesmana, salah seorang generasi baru perfilman Indonesia,ia termasuk yang mengagumi film ini. Dari segi film, Mira yang sudah menyaksikan premier film Telegram itu mengaku seolah dibawa kesuatu nostalgia tentang sebuah gaya dalam perfilman Indonesia yang sudah lamatidak dia lihat. "ada rasa sentimentil yangmuncul dalam diri saya," ujarnya. Telegram digarap dengan cukup manis, terutama tata cahaya dan penataan artistiknya.



D. Novel Telegram dalam Kesusastraan Indonesia

        Dengan novelnya Telegram (1973), Putu Wijaya membuktikan bahwa kondisi sastra kita saat itu sudah terlalu jauh tenggelam ke dalam realisme. Dengan melecehkan alur dan penokohan, ia memotret jiwa atau ketidaksadaran si pelaku. Pemandangan yang terlihat pembaca adalah campuran antara kenyataan obyektif dan imajinasi pelaku, dan hampir-hampir kita tak mampu membedakan keduanya. Demikianlah kesatuan cerita dihancurkan: peristiwa tidak terpapar dalam hubungan sebab akibat. Perjalanan tokoh utama hanya diikat oleh motif yang menjadi judul buku, yaitu Telegram dan Stasiun. Jika fragmen-fragmen peristiwa bergerak terlalu liar, pengarang segera meredamnya ke suasana yang mirip puisi atau jika pelukisan terasa kelam memberatkan, ia memberikan lanturan atau semacam ironi.
         Putu Wijaya seorang penulis novel yang sekaligus sering membuat film ini terkenal mengajukan problem-problem psikologis dalam novelnya. Bagi banyak orang ini disebut dengan “absurd”. Absurditas karya-karya Putu Wijaya ini mengemuka disaat kita membaca beberapa karyanya. Dalam banyak prosanya itu, Putu Wijaya biasanya banyak memerikan pergulatan pikiran sang tokoh utama seperti dalam Novel Telegram. Para pengamat sastrapun  menyebut novel ini  yang pertama di Indonesia yang menggunakan tehnik stream of conciousness, kisah ini dibangun dengan cara penuturan “monologue interiur” percakapan diri sendiri.




E. Putu Wijaya

         I Gusti Ngurah Putu Wijaya adalah nama lengkapnya,  ia lahir di Puri Anom,Tabanan,Bali pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Sampai saat ini Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih dari 30 novel,40 naskah drama, sekitar seribu cerpen,ratusan esai,artikel lepas,dan kritik drama, selain itu ia juga menulis skenario film dan skenario sinetron, Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985).
Cerita pendek karya Putu Wijaya sering mengisi kolom-kolom pada Harian Kompas,dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya juga kerap muncul di Majalah Kartini,Femina, dan Horison. Beberapa karyanya yang sering diperbincangkan banyak orang adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam Sobat, Nyali.
         Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan Angkatan 1966 – 1970 an. Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Majalah Sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis . Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini, novel Telegram juga pertama kali dicetak oleh Pustaka Jaya. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, termasuk paus sastra Indonesia H.B. Jassin,Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, , Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lain.
        Karya-karya Putu Wijaya banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novel-novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam dalam bentuk esei bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Bahkan karya-karya Putu Wijaya sampai saat ini banyak dipergunakan sebagai objek penelitian untuk penyusunan skripsi oleh mahasiswa jurusan sastra.
        Imran T. Abdullah dkk. (1978 :12) mengatakan bahwa sebagai seorang novelis, Putu Wijaya menempatkan dirinya tak jauh dari kelihaiannya sebagai penulis naskah drama. Dalam prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Sementara itu,Jakob Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan  Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa Putu Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling produktif dan paling kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif  bahasanya dan  disatukan oleh suasana tema (ibid : 133).
        Sampai saat ini Putu Wijaya masih aktif dalam dunia pementasan, Pada bulan Juni 2010 Putu Wijaya menggelar pementasan Di Yogyakarta untuk mengenang Almarhum W.S  Rendra dengan judul “Kereta Kencana”. sebelumnya “Kereta Kencana” pernah beberapa kali dipentaskan  oleh Almarhum W.S Rendra. Diumurnya yang sudah tidak muda lagi Putu Wijaya masih saja bergulat dengan seni pementasan,ini adalah hal yang luar biasa dari diri seorang Putu Wijaya, ia adalah dramawan dan  sastrawan ternama di negeri ini.
         





Daftar Pustaka
·         Anonim, 2008. ” Biografi Putu Wijaya” dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id/ diunduh,7 Mei 2010
·         Budiman , Irfan. Laksmini W., Gita. Pudjiarti, Hani. Sepriyosso, Darmawan. 2000“secarik telegram seribu ketegangan” edisi 19 juni 2000 dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip diunduh, 7 mei 2010.
·         Anonim, 2010 “Putu Wijaya” dalam http://id.wikipedia.org diunduh 7 Mei 2010
·         Anonim, 2008, “ Sinopsis Novel Telegram” dalam goesprih.blogspot.com diunduh 7 Mei 2010
·         Rizal, 2008. “ Konflik Sosial dan Politik Dalam Novel Nyali Karya Putu Wijaya” dalam Sastraindonesia.ohlog.com diunduh 7 Mei 2010

Karya- karya Putu Wijaya yang terkenal
Penulis skenario film :  Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980), Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985), Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati, Telegram.
 Karya drama : Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan, Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah, Jpret, Aeng, Aut, Dar-Dir-Dor. Karya novel :  Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun (1977), Pabrik (1976), Keok (1978), Aduh, Dag-dig-dug, Edan, Gres, Lho (1982), Nyali, Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995), Kroco (Pustaka Firdaus, 1995), Dar Der Dor (Grasindo, 1996), Aus (Grasindo, 1996), Sobat (1981), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol (1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol (1992), Dang Dut (1992), Cas-Cis-Cus (1995).
Karya cerpen :  Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), Klop,Bor, Protes (1994), Darah (1995), Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), Tidak (1999).
Karya Novelet : MS (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Ratu (1977), Sah (1977) .
Karya esai : Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.